Video Terkini

Lovely Brothers

Lovely Brothers
share your love

Monday, 26 March 2012

PEMUDA PENCARI TEPI DUNIA

         Dia adalah salah satu pengembara hebat sepanjang sejarah. Dalam pengembaraan tiada henti sepanjang 29 tahun,  Ibnu Battuta telah melintasi dua benua dan 44 negara. Ia menempuh jarak 75.000 mil (120.000 km), tiga kali lebih panjang dari jarak yang di tempuh Marco Polo. Ibnu Battuta adalah penjelajah yang luar biasa. Perjalanan yang ditempuhnya meliputi Spanyol, Rusia, Turki, Persia, India, Cina, dan sejumlah negara Muslim lainnya. Kelebihannya, dia selalu mendeskripsikan kondisi spiritual, politik, dan sosial dari setiap negara yang disinggahinya. Ibnu Battuta juga berhasil merekam wajah peradapan Timur Tengah pada abad pertengahan. Sebagai sosok yang memahami dan menguasai Sastra Arab, Ibnu Battuta dapat mengilustrasikan dengan indah kota-kota yang dikunjunginya. Deskripsinya tentang kota Kairo pada tahun 1326, misalnya, sangat memikat dan puitis. " Aku bertamu di Kairo, Ibunda dari kota-kota dan kursi Fir`aun sang tirani, sang nyonya pemilik wilayah luas nan subur. Bangunan-bangunan tak ada batasnya, tak tertandingi akan kecantikan dan keanggunannya. Tempat bertemunya para pendatang dan yang pulang, tempat perhentian yang lemah dan kuat, dimana berbondong-bondong manusia menyerbu laiknya gelombang laut, dan semuanya tertampung dalam ukuran dan kapasitasnya." Seluruh kisah pengembaraannya, dituturkan kembali oleh Ibnu Battuta dan di tulis oleh Ibnu Jauzi, juru tulis Sultan Maroko, Abu Enan. Karya itu diberi judul Tuhfah al-Nuzzar fi Ghara`ib al-Amsar wa Ajaib al-Asfar ( Persembahan seorang pengamat tentang kota-kota asing dan perjalanan yang mengagumkan), biasa disingkat dan dikenal dengan sebutan Rihla (Perjalanan).

Ibnu Battuta yang bernama asli Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Lawati, lahir di Tangier, Maroko, 24 Februari 1304 (723H). Ia dibesarkan dalam sebuah keluarga kadi (hakim) yang berkedudukan kuat. Sangat sedikit sumber yang menjelaskan tentang keluarga atau riwayat hidupnya. Rihla merupakan sumber utama untuk mengetahui tentang dirinya, namun ia jarang menyebutkan tentang keluarganya dibuku tersebut. Seperti kebanyakan anak-anak pada masanya, Ibnu Battuta telah memulai pendidikan sekolahnya pada umur enam tahun, dan kehidupan intelektualnya bermula dari al-Qur`an. Sebagai salah satu dari lima pelabuhan utama sepanjang selat Gibraltar, Tangier disibukkan oleh aktivitas dan kegiatan bisnis yang sangat ramai. Tangier tidak terkenal karena ilmu pengetahuan walau termasuk wilayah Maroko. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika para pelajar muda berbondong-bondong menuntut ilmu dan melanjutkan pendidikannya di Makkah. Selain dalam bidang akademik, karir Ibnu Battuta juga menunjukkan ketangkasan dan kecerdasan dalam pengembaraan. Pengetahuan Ibnu Battuta tentang seluk-beluk Bahasa dan Sastra Arab membuat dirinya dikenal sebagai orang yang berpendidikan, walau Tangier bukan merupakan tempat atau pusat pendidikan yang bagus. Selain itu, Battuta juga dikenal ahli dalam ilmu fiqh, ilmu yang didapatnya selama pendidikan sekolah di tanah kelahirannya.

Tahun 1325, ketika baru menginjak usia 21 tahun, Ibnu Battuta melakukan ibadah haji untuk pertama kalinya ke kota Makkah, sekitar 3000 mil (5000 km) ke arah timur. Tak hanya 3000 mil, ternyata perjalanannya berlanjut hingga sejauh 72.000 mil atau 120.000 km! Biasanya, usai menunaikan ibadah haji, para jamaah pasti akan langsung kembali ke kampung halaman masing-masing. Namun, itu tidak berlaku buat Battuta. Ia meneruskan perjalanannya menjelajahi negeri-negeri Muslim lainnya. " Kutinggalkan Tangier, tanah kelahiranku, 13 Juni 1325 untuk melaksanakan ibadah haji ke Makkah....meninggalkan teman-temanku, laki-laki dan perempuan. Meninggalkan rumah bagaikan burung yang meninggalkan sarangnya, " kenang Battuta kala beranjak pergi. Perjalanan haji menuju Makkah ditempuh Ibnu Battuta melalui jalur darat. Dia ikut dalam rombongan beberapa karavan yang menuju Alexandria (Mesir) yang bergerak melintasi Aljir (Aljazair), Tunisia, dan Libya selama berbulan-bulan. Dalam perjalanan ke Tunisia, dua orang temannya jatuh sakit karena demam, salah satunya meninggal dunia. Ibnu Battuta merasakan kesedihan yang luar biasa karena kesepian. "....aku merasa sangat sedih di hati lantaran kesepianku sehingga aku tidak bisa mengendalikan air mata yang menetes dan bercucuran. Tetapi salah seorang jamaah haji meyadari penyebab kesusahanku, ia datang padaku dengan hangat dan ramah, dan tetap menghiburku...." tulisnya dalam Rihla. Itu adalah penyakit "rindu kampung halaman" yang pertama dan terakhir kali dirasakannya. Di Tunisia, Ibnu Battuta bertemu dengan salah seorang sufi yang shaleh bernama Burhanudin. Sang sufi dengan ramah menerima dan mengizinkan Ibnu Battuta tinggal dirumahnya selama tiga hari.

Suatu hari Burhanuddin berkata kepada Battuta,"Aku melihat kau senang mengembara ke negeri-negeri asing?" "Iya" jawab Battuta, walau ia belum pernah berpikir akan pergi ke negeri sejauh India dan Cina. Burhanuddin berkata lagi, "Kau harus mengunjungi saudara-saudaraku, Friduddin di India, Ruknuddin di Sind (Pakistan), dan Burhanuddin di Cina. Ketika kau bertemu dengan mereka, sampaikan salam dariku" " Aku kagum pada prediksinya, hanya saja gagasan ke negeri-negeri ini terlintas sekejap dalam pikiranku. Perjalananku tak kan pernah sampai, hingga aku bertemu dengan ketiga orang ini dan menyampaikan salam saudara mereka," gumam Battuta dalam hati. Dari Tunisia, Ibnu Battuta bergabung dengan sebuah kafilah menuju ke Alexandria, Negeri Fir`aun. Di Kairo , dia kerap mencari dan menemui cerdik pandai dan orang-orang alim. Di sebuah desa bernama Fuwa dekat Delta Nil ia tinggal dan berdiam di rumah salah seorang tokoh sufi terkenal, Syekh Abu Abdullah al-Mursyidi. Kala tertidur di malam hari beralaskan keset kulit di salah satu sudut rumah al-Mursyidi yang sederhana, Ibnu Battuta melihat masa depannya terbentang. "Aku bermimpi tengah berada pada sayap seekor burung besar yang sedang terbang menuju Makkah, lalu ke Yaman, terus ke timur dan ke selatan lalu terbang ke timur jauh. Dan akhirnya mendarat di sebuah tempat gelap, negeri hijau, dimana burung itu meninggalkanku...." Pagi berikutnya, Syekh menafsirkan mimpi itu padaku. "Kau akan menunaikan ibadah haji dan mengunjungi makam Nabi, dan akan berkelana sepanjang Yaman, Irak, Turki, dan India. Kau akan tinggal disana dalam waktu lama dan bertemu saudaraku, Dilshad, Orang India. Siapa yang akan menolongmu dari bahaya yang akan kau datangi?"  "Setelah itu aku pergi meninggalkannya. Tidakkah selama ini aku selalu mendapatkan nasib baik," ujar Battuta. Kairo adalah peradaban Muslim pertama yang dicicipi Ibnu Battuta dalam skala besar. Ia memasuki Mesir pada saat di mana penguasa yang bijaksana, birokrasi administrasi yang baik dan ekonomi yang kuat saling meneguhkan satu sama lain dan bersama-sama menciptakan perdamaian, kemakmuran dan kewibawaan. Mesir memegang monopoli yang sebenarnya dalam perdagangan dengan Asia, yang kian memperkaya rezim Mamluk, mengembangkan layar-layar kemakmuran kelas menengah, dan memandu laju kapal negara. Bagi anak muda dari Tangier ini, hal ini sangat luar biasa. Ibnu Battuta melukiskan keindahan Mesir. "Di Kairo terdapat 12.000 alat pengangkut air yang di letakkan di atas unta, 30.000 penyewa keledai dan bagal. Di sungai Nil ada 36.000 perahu milik sultan dan rakyatnya yang hilir-mudik berlayar dari Alexandria dan Damietta membawa barang-barang berharga dan barang dagangan dalam segala bentuk. Di seberang sungai Nil terdapat sebuah tempat yang di kenal dengan sebutan "Taman", tempat untuk bersenang-senang dan berjalan-jalan yang di kelilingi aneka kebun bunga yang indah, tempat orang-orang Kairo menikmati kesenangan dan hiburan-hiburan....Sekolah-sekolah sudah tak terhitung lagi....Rumah Sakit Maristan tak bisa di gambarkan keindahannya..."
Walau demikian, Makkah tetap merupakan tujuan utama Ibnu Battuta. Ia berlayar melintasi sungai Nil dan naik karavan ke arah timur menuju Aydhab di Laut Merah, sebuah kota transit yang airnya payau dan udaranya menyala. Sayang ia hanya singgah sebentar disana karena klan yang berkuasa tengah mengalami revolusi melawan rezim Mamluk di Kairo. Demi melakukan yang terbaik dari yang terburuk, Ibnu Battuta kembali ke Kairo dan menyeberangi gurun Sinai dengan unta. Ia singgah di Palestina dan Syria hingga mencapai Damascus, lalu bergabung dengan kafilah haji ke Makkah. Setelah menghabiskan Ramadhan di Damascus, Ibnu Battuta bergabung dengan kafilah menuju Madinah. Empat hari lamanya ia berada di Madinah, baru kemudian melanjutkan perjalanan ke Makkah guna menyelesaikan pelaksanaan ibadah hajinya. "Kami menyegerakan diri menuju Baitullah...dan melihat Ka`bah di kelilingi orang-orang yang datang dari berbagai penjuru dunia untuk melakukan penghormatan....kami mengelilingi Ka`bah tujuh putaran, mencium Hajar Aswad dan meminum air Zam-Zam dan menghampiri makam Ibrahim..." tulisnya. Usai menyempurnakan seluruh ritual dan prosesi ibadah haji, Ibnu Battuta tidak pulang ke rumah. Ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Irak dan Iran..............( Sumber : Majalah Sabili oleh Chairul Akhmad )

No comments:

Post a Comment