Video Terkini

Lovely Brothers

Lovely Brothers
share your love

Tuesday 20 March 2012

HINDARI SANKSI FISIK & MENTAL PADA ANAK

Pertengkaran diantara anak-anak bersaudara adalah hal biasa. Anak-anak siapapun dia: adik, kakak atau anak tunggal semua suka melanggar aturan. Ketika di tegur, ludah belum kering sudah di ulang lagi. Endingnya, keluarlah jerit tangis yang memekakkan telinga. Perilaku anak di bawah sepuluh tahun memang labil. Terkadang patuh, terkadang tanpa rasa bersalah melanggar aturan yang telah di tetapkan. Secara psikologis, si kecil masih mengalami proses pengembangan moral. Ini memungkinkan mereka dapat membedakan mana yang benar dan salah, serta melakukan keduanya sekaligus. Begitulah anak-anak. Mereka lebih menyukai yang enak dan menyenangkan, tanpa memikirkan benar atau salahnya. Fitrahnya manusia cenderung pada kebaikan. Begitu pun anak-anak. Umumnya, anak merasa takut setelah melakukan kesalahan. Ini menjadi sisi yang berguna untuk menuntun perilaku baiknya. Karena tak jarang si kecil justru menutupi kekeliruannya dengan berbohong. Jadi, jangan keliru menyikapinya. Tanggapi pengakuan ini dengan sabar, karena ia telah berusaha untuk jujur. Ajaklah berdiskusi mengapa tindakannya itu dianggap sebagai suatu kekeliruan. Tapi jangan hanya bisa menyalahkan. Berikan juga pujian karena telah berlaku jujur. Sebaliknya, berilah anak sanksi jika ia melanggar aturan. Biasanya anak lebih konsekwen jika sanksi yang akan diberikan di diskusikan dulu. Atau, biarkan anak memilih sendiri sanksi untuk kesalahannya. Dalam menerapkan sanksi, orangtua harus konsisten. Jika sekali saja lolos dari sanksi maka wibawa aturan akan luntur. Dalam menerapkan sanksi, hindarilah jenis sanksi yang mengarah pada kekerasan, baik secara lahiriah maupun secara mental. Kekerasan lahiriah misalnya berupa pemukulan, tendangan ataua pengurungan. Sedangkan kekerasan mental berupa pemberian julukan buruk, misalnya si nenek sihir, si egois, si goblok! Jangan juga menyebut kelainan fisik si anak seperti si peyang, si cebol, atau si tukang ngompol. Hukuman seperti ini akan berdampak amat dalam pada si kecil. Hukuman fisik akan berujung pada trauma yang berpotensi mengganggu kejiwaannya. Adapun hukuman psikis akan mengganggu perkembangan mentalnya.

Disiplin pada anak sejak dini memang di perlukan, selama hal tersebut dilakukan secara wajar, sesuai aturan agama dan mempertimbangkan usia maupun perkembangan anak. Yang juga perlu diperhatikan adalah memprioritaskan hal-hal apa dari sekian banyak hal yang akan di buat aturannya. Jangan sampai kita berharap terlalu banyak (tidak realistis) pada anak-anak kita untuk disiplin dalam segala hal yang jelas sangat sulit untuk mereka lakukan. Bukankah sebagai pribadi yang dewasa kita juga perlu waktu untuk dapat berdisiplin? kita juga belum tentu sanggup dan dapat menerima dengan lapang dada ketika pasangan kita menerapkan disiplin yang kaku pada kita dalam banyak hal tanpa kompromi, apalagi menggunakan kekerasan? Bagaimana dengan anak-anak kita, buah hati kita, apakah sanggup dan lapang dada mendapatkan perlakuan yang keras dari kita? Tentu saja mereka hanya korban, yang belum punya daya untuk menolak atau membalas. Mungkin ada anak yang sepertinya tampak kuat, acuh bahkan menjadi kebal dengan bentakan dan pukulan orang tuanya, tetapi hatinya tidak sekuat fisiknya. Ada konflik psikologis yang bisa terjadi pada diri anak-anak kita yang mungkin bisa terbawa sampai mereka dewasa. Saya yakin kita sebagai orang tua tidak berharap demikian. Sebagai contoh, anak perlu latihan disiplin dalam hal  menyikat  gigi, tidak jajan sembarangan, bangun pagi, berpakaian, makan, mandi, bergiliran dengan teman, menonton tivi, bermain, membeli mainan, tidak mengganggu adik dan lainnya. Ternyata jika di perhitungkan, ada banyak hal yang kita harapkan pada anak. Tapi semoga kita tetap menjadi orang tua yang bijaksana dan menetapkan standart yang realistis bagi anak-anak kita. Berilah mereka waktu dan kesempatan untuk mencapai standart tersebut. Sebagai orang dewasa pun tentunya kita berharap mendapatkan kesempatan dari orang lain untuk mencapai suatu standart bukan ? Anak perlu rentang waktu, kesempatan, dorongan dan lingkungan yang kondusif untuk memiliki kebiasaan yang baik dalam banyak hal. Anak tidak akan merasa nyaman jika terlalu banyak di atur, dilarang, dimaki dan hal-hal negatif lainnya. Anak-anak juga merasa tertekan jika pada usia mereka yang sangat muda, mereka dituntut untuk berbuat baik, tapi cara yang di lakukan orang tua tidak baik. Disadari atau tidak, dalam hal ini orang tua tidak menjadi contoh yang baik bagi anak, terutama dalam mengontrol emosi. Islam mengajarkan kepada kita untuk menjadi model bagi anak-anak. Rasulullah Saw adalah teladan kita. Beliau merupakan pribadi berdisiplin tinggi, tetapi beliau tetap bersikap lembut pada anak-anak dan sangat menghargai proses bukan?kita harus lebih fokus pada pengembangan disiplin anak dengan menghargai proses mereka menuju kebaikan dan disiplin, bukan dengan menuntut hasil pembentukan disiplin anak secara tepat dan dengan kekerasan. Tiap anak bersifat unik. Namun demikian, prinsip dasar disiplin relatif sama. Disiplin akan efektif jika orang tua menjadi model yang ditiru sikap dan perilakunya. Jadi bukan hanya menyuruh, tapi tidak menjadi teladan yang baik. Disiplin pada anak perlu diikuti dengan pemberian pujian terhadap perilaku anak yang baik secara spesifik, bervariasi dan berkesinambungan. ( Sumber: Majalah Sabili )

No comments:

Post a Comment